istanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escorts
istanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escorts
istanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escorts
istanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escorts
porno izleporno izleporno izleporno izleporno izlepornopornopornopornopornopornopornoporniocoolpornpornspotsex pornosex pornosex pornosex hikayesex hikaye
REVIEW

Tekken: Bloodline, Kisah Ketiga dari Turnamen Tinju Besi

Anduril   20 Aug 2022
Tekken: Bloodline, Kisah Ketiga dari Turnamen Tinju Besi

Pada tahun 1994, Namco Bandai membuat sebuah game berjudul Tekken (The King of Iron Fist Tournament) untuk arcade dan konsol PS1. Game tersebut menggunakan grafis 3D dan dibuat untuk mengekor kesuksesan Virtua Fighter buatan Sega AM3. Saat itu game ini belum terlalu laris di pasaran, apalagi saat itu SEGA masih mengguncang dunia game fighting berkat Virtua Fighter miliknya.

Walaupun kurang menjual, Namco Bandai tetap mengembangkan Tekken hingga pada akhirnya memimpin pasar pada game fighting 3D. Bahkan langkah menggunakan dunia dan karakter 3D ini sempat ditiru oleh developer game fighting lainnya. Seperti misalnya Midway yang berusaha keras dengan Mortal Kombat 3D di eras PS2. Atau SNK yang pernah mencoba KOF: Maximum Impact dan Samurai Shodown 3D di dua generasi yang berbeda.

Pada intinya Tekken merupakan game fighting yang memberikan impak cukup besar pada kultur developer maupun kultur gamer. Bahkan di negara di luar Jepang, Tekken memberikan pengaruh yang luar biasa. Seperti misalnya di Korea Selatan dan Pakistan, Tekken merupakan game yang kerap dipertandingkan, sehingga menghasilkan juara dunia.

Pada bulan Maret tahun 2022, Netflix mengumumkan kalau mereka mengembangkan Tekken: Bloodline yang bakal dirilis di bulan Agustus. Tekken: Bloodline itu sendiri merupakan adaptasi bebas dari seri ketiga Tekken yang menceritakan kemunculan Jin Kazama dan Ogre.

Review Tekken: Bloodline

Remaja kampung keturunan klan Mishima

Cerita Tekken: Bloodline dimulai tepat ketika Kazuya dinyatakan kalah di turnamen Tinju Besi kedua. Sebelum kalah, Kazuya sempat memiliki hubungan khusus dengan Jun Kazama. Cinta satu malam ini ternyata membuahkan hasil seorang anak pria yang diberi nama Jin Kazama.

Jin dan Jun (bukan sinetron Indonesia yang populer di tahun 90-an) memutuskan untuk tinggal di kota kecil yang dekat dengan hutan. Saat remaja, Jin kerap dirundung oleh teman-temannya yang lebih besar. Suatu hari Jin membalas perundungan tersebut dengan memperlihatkan kalau dirinya bisa membela diri.

Jun yang melihat kalau sang anak menghajar musuh-musuhnya, langsung memarahi Jin. Bagi Jun, Jin seharusnya sudah bisa membela diri tanpa menyebabkan kerusakan bagi orang lain. Sejak saat itu, Jun membuat Jin berjanji kalau dia tidak akan menggunakan Kazama style sembarangan.

Pada malamnya, Ogre datang ke rumah Jun. Sang dewa perang kuno, mendatangi Jun karena karena tertarik dengan kekuatan yang dimiliki ibu dan anak tersebut. Meskipun Ogre berhasil ditahan oleh Jun, tapi dia terkena ledakan besar yang berasal dari pipa gas rumah. Pada pesan terakhirnya, Jun meminta Jin untuk mencari sang kakek. Heihachi Mishima.

Adaptasi bebas dari Tekken 3

Sebenarnya game fighting tidak memiliki cerita yang relevan untuk diangkat ke film atau serial TV. Hal inilah yang menjadikan upaya adaptasi film ke game selalu menuai rating yang sangat buruk. Karena itulah Yoshikazu Miyao melakukan berbagai penyesuaian meskipun sebenarnya melukai kisah asli dari Tekken 3 itu sendiri.

Salah satunya adalah dengan memasukan Leroy Smith yang seharusnya baru bergabung di Tekken 7. Kemudian membuat Paul kalah ketika melawan King di babak perempat final. Padahal kalau sesuai dengan cerita aslinya, Paul lah yang mengalahkan Ogre dan menjadi juara Tekken 3 di mata publik.

Kenapa di mata publik? Karena pada kenyataannya Mishima tidak mengakui Paul yang menang. Pada kenyataannya paul tidak tahu kalau Ogre memiliki wujud kedua yang bernama True Ogre. Wujud kedua inilah yang dikalahkan Jin Kazama, sebelum akhirnya dia berhadapan dengan Heihachi dan berubah menjadi Devil Jin.

Walaupun begitu, untunglah Tekken: Bloodline ini memiliki durasi yang cukup untuk menjelaskan berbagai keanehan yang ada di dalam gamenya. Meskipun cara yang ditempuh cenderung main aman dengan menghilangkan atau menghapus berbagai motif sampingan yang dimiliki karakter lain di luar Jin dan Heihachi.

Banyak gerakan yang sama dengan gamenya

Tekken: Bloodline memasukan berbagai gerakan yang ada di dalam gamenya. Termasuk gaya Jin Kazama ketika masih menggunakan Mishima style karate. Gaya yang membuat dirinya menjadi hibrida aneh antara Mishima dan Kazama style.

Kita diperlihatkan bagaimana Jin menggunakan Spinning Demon yang menjadi andalan Mishima. Kemudian ada Wind God Fist dan bantingan Stone Head. Sementara itu untuk Paul, kita diperlihatkan bagaimana kejamnya Death Fist ketika menghantam musuhnya. Khusus untuk King, dia hampir saja mengeluarkan Rolling Death Cradle. Untunglah, Jin masih bisa lepas di bantingan kedua. Bila tidak, pertandingan Jin melawan King akan berbeda hasilnya.

Oh iya, meskipun kita diperlihatkan beberapa gerakan yang sesuai dengan gamenya, jangan berharap kamu bakal melihat combo yang sama dengan gamenya. Lagian bagian combo sudah pernah diperlihatkan oleh Heihachi di Tekken: Blood Vengeance.

Kesimpulan

Entah mengapa Tekken senang sekali menggunakan kata-kata Blood pada sub judulnya. Di Tekken 6 kita mendapatkan judul Tekken 6: Bloodline Rebellion. Pada film sebelumnya giliran Tekken: Blood Vengeance. Sekarang kita mendapati Tekken: Bloodline. Mungkin semua itu berhubungan dengan tema garis keturunan Mishima yang hobi bikin huru-hara sampai perang dunia.

Untunglah di film ini, cerita Tekken disederhanakan sehingga mudah dicerna. Memang paling mungkin menceritakan bagian ketiga dari kisah Tekken. Mengingat bagian tersebut kita hanya diberi suguhan kangguru yang bisa tinju, bukan orang mati yang dibangkitkan lagi dengan tubuh lainnya, atau cyborg yang bisa mengeluarkan gergaji mesin.

Jujur saja, kami sangat menikmati Tekken: Bloodline, meskipun pilihan artistiknya sangat mengganggu. Kehadiran bayangan segitiga yang muncul di kepala setiap karakter membuat kami tidak bisa berhenti tersenyum ketika menyaksikan serial ini. Tidak peduli siang malam, atau pada jarak berapapun bayangan tersebut selalu hadir. Bila diperlukan, satu karakter besar seperti Heihachi bisa menggunakan bayangan segitiga di seluruh badannya.

Tekken: Bloodline sudah bisa kamu tonton di Netflix. Kamu pasti menyukai serial ini, apalagi kalau kamu ikut memainkan serial Tekken dan mengenal Tekken dari era PS1. Tapi ngomong-ngomong, ke mana Eddy Gordo ya?

KOMENTAR & SHARE ARTIKEL
JurnalApps
Jurnal Apps adalah website media yang fokus dalam membahas segala hal yang berkaitan dengan aplikasi mobile. Jurnal Apps berisi informasi review, bedah produk, berita terbaru dan video aplikasi untuk mobile.
Hubungi Kami

Menara Anugrah 20th Floor - Jl. Dr. Ide Anak Agung Gde Agung Lot 8.6-8.7. Kawasan Mega Kuningan Jakarta Selatan 12950. Indonesia

+62 21 5785 3978

redaksi@jurnalapps.co.id

Find us on social media
Add Friends
To Top