istanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escorts
istanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escorts
istanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escorts
istanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escorts
porno izleporno izleporno izleporno izleporno izlepornopornopornopornopornopornopornoporniocoolpornpornspotsex pornosex pornosex pornosex hikayesex hikaye
REVIEW

Perjalanan Mobile Legends Gairahkan Ekosistem Esports Indonesia

en19ma   26 Oct 2019
Perjalanan Mobile Legends Gairahkan Ekosistem Esports Indonesia

Akhir pekan ini, MPL ID Season 4 akan segera memasuki babak Grand Final yang akan diselenggarakan di Tennis Indoor Senayan (Jakarta) pada tanggal 26 hingga 27 Oktober 2019. Sejak babak Regular Season, dukungan para penggemar tidak pernah surut, justru malah semakin memanas menjelang puncak kejuaraan Mobile Legends terbesar di Asia ini.

Marilah sedikit mengundurkan waktu ke tahun 2018, yang bisa dibilang sebagai awal baru dari kebangkitan industri esports di Indonesia. Meski demikian, cikal bakal dari ekosistem dan industri ini memang sudah lahir sejak beberapa tahun silam, tepatnya ketika World Cyber Games (WCG) digelar pada tahun 2003 di Mall Taman Anggrek, Jakarta.

Namun, kala itu, orang kebanyakan masih mengenal esports dengan istilah turnamen game online. Dulu, juga belum ada istilahnya menggaji para pemain yang hanya mengejar prestasi dalam bermain game. Begitulah, manajemen tim atau pun organisasi esports belumlah muncul pada saat itu. Perkembangan industri ini pun seolah stagnan dikarenakan sekian banyak hambatan, hingga pada akhirnya meredup dan berganti generasi.

Barulah pada tahun 2016, mulai bermunculan generasi baru yang sudah mengenal istilah esports dan konsepnya sebagai sebuah industri hiburan. Sebenarnya, apa pembeda terbesar antara konsep turnamen game online dengan esports? Sederhananya, esports adalah turnamen game online yang dipertontonkan untuk khalayak yang lebih luas. Jadi, dahulu kala dikarenakan keterbatasan teknologi, jaringan internet, dan keterbatasan SDM, maka orang-orang yang ingin menonton turnamen game online harus berdatangan ke lokasi karena memang belum ada fasilitas live streaming-nya. Para penonton ini pun biasanya lebih terbatas pada para pemain dari game tersebut. Sedangkan, esports lebih bisa disetarakan dengan pertandingan sepak bola, karena para penontonnya bisa jadi berada di luar dari komunitas para pemain game tersebut.

Itu tadi barulah dari faktor eksternal. Jika ditilik dari faktor internal, atau dari dalam game-nya, juga dimunculkan sebuah fitur baru yang diberi nama Spectator Mode. Mode ini memang diperuntukkan bagi mereka yang memang lebih suka menonton ketimbang bermain gamenya. Namun, mode ini jugalah yang memudahkan sebuah turnamen game jadi bisa tampil sebagai sebuah live streaming untuk ditonton secara bersama-sama.

Menurut cerita dari Lucas Mao, MPL Indonesia League Commisioner; di tahun 2016 tersebut, tepatnya bulan September, Moonton juga merilis Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) untuk pertama kalinya di Brazil, barulah kemudian secara global (worldwide). “Saat itu, kami juga sudah memegang data retention rate para gamer di seluruh dunia yang menunjukkan bahwa gamer memang suka bermain game MOBA, dan ada potensi besar di Asia Tenggara.” ujarnya.

“Sejak awal dirilis, kami juga sudah merasakan perkembangannya karena melihat dua hal. Pertama, banyak orang [yang] memperbincangkan MLBB di media sosial, dan kami melihat gamer ternyata suka sekali bermain MOBA di ponsel mereka masing-masing. Kedua, dari data yang kami punya [pada] saat itu, angka retention-nya sungguh menakjubkan. Data itu menunjukkan [ada] banyak sekali gamer yang memainkannya setiap hari.”

Menariknya, menurut pengakuan Lucas, mereka awalnya mengira bahwa Brazil dan Eropa yang akan menjadi pasar terbesar untuk MLBB. Namun, game ini ternyata malah jauh lebih sukses di Asia Tenggara. Meski begitu, MLBB secara faktanya juga menjadi MOBA di platform mobile yang paling populer di Eropa, Amerika Serikat, Rusia, dan Turki untuk saat ini.

“Ada satu cerita menarik yang kami dapatkan [pada] saat menggelar turnamen di Turki [per] bulan Juli lalu. Gamer di sana mengaku sebagai fans berat ONIC dan mengikuti perkembangan MPL Indonesia untuk meningkatkan skill bermain mereka,” ujar Lucas.

Lalu, apakah sebenarnya relevansi di antara perkembangan industri dan ekosistem esports Indonesia dengan MLBB?

Pengaruh MLBB ke industri esports kita berawal dari Mobile Legends: Bang Bang Southeast Asia Cup (MSC) 2017. Begitulah, pada bulan Juli tahun 2017 lalu, Moonton menggelar kualifikasi MSC 2017 untuk Indonesia yang digelar di Gandaria City, Jakarta. Pada saat itu, Saints Indo yang menjadi juara setelah mengalahkan E8 di babak finalnya.

Pasca kualifikasi untuk Indonesia tadi, gelaran utama MSC 2017 yang diikuti oleh 8 tim dari 5 negara Asia Tenggara (Indonesia, Thailand, Filipina, Singapura, dan Malaysia) digelar di Mall Taman Anggrek, Jakarta. Dari MSC 2017 inilah, nama-nama, seperti JessNoLimit, Donkey, Oura, dan yang lain-lainnya yang belakangan berkembang menjadi icon esports nasional pada saat ini, mencuat ke permukaan.

Lucas menjawab bahwa Moonton menggelar MSC 2017 karena memang dibutuhkan oleh para gamernya. “MLBB adalah game MOBA yang memang dilahirkan untuk [menjadi] esports. Saat itu juga, kami sudah melihat beberapa turnamen dari partner-partner kami (pihak ketiga) yang disambut dengan antusias. Karena itulah, kami ingin mencoba membuat yang lebih besar dan lebih profesional dengan MSC 2017.”

Meski mendapat sambutan yang antusias dari para gamernya, MSC 2017 masih bisa dibilang hanyalah sebuah pengantar. Adalah Mobile Legends: Bang Bang Professional League (MPL) Indonesia Season 1 yang bisa memecahkan kebuntuan esports dalam menjangkau khalayak luas, termasuk pemerintah dan para pelaku industri non-endemic di Indonesia.

Dari tanggal 30 Maret 2018 hingga 1 April 2018, Grand Final MPL ID S1 mampu membuat Mall Taman Anggrek (Jakarta) tumpah ruah dan penuh sesak dengan para pengunjung yang ingin menyaksikan RRQ, EVOS, dan tim-tim lainnya mengadu kelincahan bermain dan berebut gengsi. Di Grand Final ini, Zulkifli Hasan (yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua MPR) juga turut hadir dan memberikan sambutannya.

Lewat gelaran ini juga, jutaan anak muda jadi mempunyai sosok idola baru sekaligus cita-cita dan ambisi baru. Mereka jadi ingin seperti Lemon, TUTURU, JessNoLimit, Rekt, Rave, LJ, atau pun yang lain-lainnya. Harapan dan cita-cita inilah yang menjadi motor penggerak pasar dari industri esports. Para orang tua juga semakin terbuka dengan nilai-nilai positif yang bisa ditawarkan oleh esports. Yang tak kalah penting, banyak dari para pelaku industri jadi menyadari bahwa pasar gamer dan esports itu mempunyai potensi besar yang bisa dieksplorasi dan memiliki antusiasme begitu tinggi, yang tidak ditemukan di target pasar lainnya.

Kembali ke Lucas, apa sebenarnya alasan dari Moonton kala itu untuk menciptakan MPL di Indonesia? Ia pun berargumen bahwa untuk mengembangkan ekosistem esports di satu negara itu, kita membutuhkan komunitas yang sifatnya lokal, berkesinambungan, namun juga profesional. Karena itu, turnamen berbentuk liga adalah salah satu cara yang paling efektif untuk mencapai ke sana. Setelah mengawalinya dari Indonesia, Moonton pun menggelar MPL untuk beberapa negara lain di Asia Tenggara, seperti Malaysia-Singapura, Filipina, Myanmar.

Lucas juga menambahkan bahwa Moonton menggelar MPL bukanlah hanya untuk kepentingan industri game saja. “Kami melihatnya sebagai sebuah industri olahraga baru yang mampu berkembang secara independen ke depannya. Pasalnya, pecinta esports sendiri memang masih sangat kecil proporsinya --mungkin hanya sekitar 5% dari keseluruhan pemain MLBB. Karena itu, ada keterbatasan pengaruh ke industri game-nya sekarang. Namun, di masa depan, esports memiliki potensi yang sangat besar, bisa memperpanjang usia produk sebuah game dan membuat komunitasnya untuk tetap terus aktif.”

Meski para gamer yang bisa naik kasta menjadi atlet esports secara kenyataan sangatlah kecil jumlahnya --antara 1 sampai 5% dari total gamer yang ada-- karena memang terjadi berkat tuntutan kemampuannya, esports sendiri telah menjadi sebuah ruang pragmatis yang jauh lebih luas untuk mereka yang berkarir di industri game. Tanpa esports, industri game hanyalah mampu menawarkan ruang-ruang profesional yang sangat terbatas. Dengan adanya esports yang merupakan racikan antara industri hiburan, olahraga, dan game, maka jumlah variasi atas para profesional yang dibutuhkan jadi lebih beragam (yang terdiri dari shoutcaster, broadcasting, videografer, manajer tim, pelatih tim, jurnalis, orang bisnis, dan segudang profesi lainnya).

Selain membuka jalan bagi industri esports dengan lebih lebar untuk berkembang di Indonesia, MPL Indonesia Season 4 juga menjadi pionir terkait sistem liga waralaba esports pertama di Tanah Air. Hal ini berarti setiap tim yang ingin berlaga di MPL Indonesia dari Season 4 dan seterusnya harus ikut menginvestasikan dana ke liga ini. Awalnya, hal ini memang mengundang sejumlah pro dan kontra dari komunitas mau pun para pelaku industri game di sini --mungkin karena Indonesia memang lebih familiar dengan sepak bola yang menggunakan sistem terbuka alias relegasi, dan bukannya sistem tertutup (franchising) yang sudah wajar untuk digunakan di Amerika Serikat, seperti NBA, NFL, atau pun MLB.

Ketakutan mereka yang kontra dengan sistem ini adalah menyusutnya ekosistem esports di level paling bawah alias amatir atau grass root. Dylan Chia, MPL Indonesia Marketing Director, mengatakan bahwa mereka tidak melihat adanya konflik kepentingan antara liga franchise, liga profesional, atau pun esports untuk kelas amatir. “Saat ini, kami juga masih punya program E-Project (Everyone for Esports) yang menjadi sebuah sistem untuk mendukung komunitas amatir. Bahkan, tahun ini saja, kami sudah mendukung lebih dari 200 turnamen untuk kelas ini. Bulan ini (Oktober 2019), kami juga bekerjasama dengan PT. KAI untuk menggelar turnamen yang jadi bagian dari EProject. Dan, di tahun 2020, MPL ID akan terus berupaya untuk memperkuat pengembangan ekosistem untuk level amatir,” lanjut Dylan.

Terakhir, keputusan MPL menjadi sistem liga waralaba memanglah sebuah pertaruhan besar. Namun demikian, jika MPL sukses besar, maka besar kemungkinannya bahwa banyak pelaku bisnis esports di luar sana yang menjadi terbukakan matanya terhadap adanya potensi besar dari industri ini di Indonesia --karena sebelum tahun 2018, Indonesia mungkin masihlah dipandang secara sebelah mata saja oleh para pelaku industri game dari negara-negara barat. Jika tadinya ada para gamer Turki yang mengidolakan ONIC dari Indonesia dan menjadikan MPL Indonesia sebagai acuan belajar, maka bukanlah tidak mungkin juga jika Indonesia ke depannya bisa menjadi pusat baru dari industri esports mobile.

KOMENTAR & SHARE ARTIKEL
JurnalApps
Jurnal Apps adalah website media yang fokus dalam membahas segala hal yang berkaitan dengan aplikasi mobile. Jurnal Apps berisi informasi review, bedah produk, berita terbaru dan video aplikasi untuk mobile.
Hubungi Kami

Menara Anugrah 20th Floor - Jl. Dr. Ide Anak Agung Gde Agung Lot 8.6-8.7. Kawasan Mega Kuningan Jakarta Selatan 12950. Indonesia

+62 21 5785 3978

redaksi@jurnalapps.co.id

Find us on social media
Add Friends
To Top