istanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escorts
istanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escorts
istanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escorts
istanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escortsistanbul escorts
porno izleporno izleporno izleporno izleporno izlepornopornopornopornopornopornopornoporniocoolpornpornspotsex pornosex pornosex pornosex hikayesex hikaye
REVIEW

Benarkah Mantan Founder Startup Tak Laku di Bursa Kerja?

NanaMiku   05 Aug 2022
Benarkah Mantan Founder Startup Tak Laku di Bursa Kerja?

Dalam tiga bulan terakhir, industri teknologi global terguncang hebat akibat perlambatan ekonomi. Hal ini terjadi akibat adanya krisis pasokan pangan dan energi yang menyebabkan kenaikan tingkat inflasi tinggi di berbagai negara. Tingginya tingkat inflasi ini, oleh berbagai bank sentral direspons dengan cara menaikkan suku bunga acuan. Kebijakan ini berujung pada pengetatan aliran modal di berbagai sektor industri, termasuk industri digital.

Aliran modal yang dalam lima tahun terakhir mengalir deras ke sektor teknologi digital pun mulai seret. Investor dan para pemodal ventura menahan pendanaan dan mengalihkan investasinya ke sektor-sektor lain yang dianggap lebih potensial dan menguntungkan di masa resersi. Tak mengherankan jika sepanjang 2022 ini, di seluruh dunia terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran pada karyawan sektor teknologi.

Situs layoffs.fyi melaporkan bahwa hingga 22 Juli 2022, ada sebanyak 56.224 karyawan dari 381 perusahaan startup global yang terkena PHK. Jumlah itu bisa jadi jauh lebih besar karena tak semua perusahaan mengumumkan data pengurangan karyawannya. Data itu juga belum termasuk dengan startup-startup yang harus berhenti beroperasi dan tutup.

Berbagai dinamika ini memunculkan sejumlah kekhawatiran mengenai kondisi terkani bursa kerja pasca-gelombang pemecatan karyawan startup. Bagaimana peluang para eks-startup untuk kembali mendapatkan pekerjaan? Perhatian besar juga muncul terkait nasib para pendiri startup yang perusahannya terpaksa tutup karena kekurangan pendanaan atau faktor lain.

Sebuah riset yang digelar Yale University, Amerika Serikat, dan dipublikasikan dalam Harvard Business Review pada 28 Juni lalu menunjukkan kondisi anomali. Riset yang bertajuk “Are Former Startup Founders Less Hireable?” itu melaporkan, para mantan pendiri usaha rintisan di sektor teknologi 43% lebih kecil berpeluang mendapatkan panggilan kedua (setelah menjalani wawancara kerja) saat melamar pekerjaan, jika dibandingkan dengan pelamar kerja yang bukan berlatar pendiri startup.

Survey yang melibatkan 2.400 responden itu juga menyebutkan bahwa para mantan pendiri startup yang usahanya sukses rupayanya peluang lebih kecil 33% untuk diundang wawancara kerja. Hal ini memperlihatkan kondisi yang bertolak belakang dengan kecenderungan sebagian besar perusahaan yang ingin mempekerjakan karyawan berjiwa wirausaha dan inovatif. Karena menurut survey tersebut, ketika dihadapkan dengan kandidat pekerja yang memiliki dua hal teresebut, yang lazimnya dimiliki para pendiri startup, ternyata perusahaann lebih berpeluang memilih kandidat yang bukan berlatar pendiri startup.

Kasus di Indonesia

Meski hasil surey ini lebih menggambarkan kondisi dunia kerja di Amerika Serikat, namun pengamat kewirausahaan sosial Universitas Prasetiya Mulya, Dr. Rudy Handoko berpendapat situasi serupa berpeluang terjadi di Indonesia. “Bukan hal aneh seorang founder startup masuk ke bursa kerja setelah bisnisnya gagal, atau pertumbuhan bisnisnya lambat.”

Menurut Rudy, masalahnya ada semacam stigma pada para founder startup, atau mereka yang pernah berstatus sebagai chief executive officer, chief financial officer, chief marketing officer pada sebuah perusahaan startup punya karakter arogan, merasa serba tahu, dan stigma negatif lainnya. “Padahal perekrut membutuhkan karyawan yang humble, open minded, dan terbuka untuk belajar hal baru.”

Pendapat Rudy itu juga sesuai dengan hasil riset yang dibuat tim Yale University. Berdasarkan pengamatan para perekrut, mantan pendiri akan memiliki seperangkat keterampilan yang lebih luas, pola pikir berkembang, dan kecenderungan untuk berinovasi. Tetapi pengalaman sebagai pendiri perusahaan (terutama mereka yang pernah meraih sukses) mengindikasikan kandidat tersebut kurang cocok dan kurang berkomitmen dalam peran sebagai karyawan, sehingga perekrut meragukan kecocokan mereka sebagai karyawan.

Partner di Living Lab Ventures yaitu Bayu Seto, menilai sebetulnya para pendiri startup punya sejumlah kelebihan. “Mantan pendiri startup adalah sosok generalis yang berpengetahuan luas. Mereka kritis dalam mencermati peluang bisnis yang berpotensi untuk diakuisisi, serta peka terhadap red flag yang berpotensi menjadi deal breaker. Hal ini mereka miliki berkat pengalaman di sisi manajemen maupun operasional perusahaan. Sehingga pengalaman mereka sebagai founder startup ini memberikan pandangan yang cukup matang dalam melakukan investasi,” ujarnya.

Namun ia juga menemukan bahwa kebanyakan mantan pendiri startup tahap awal cenderung hyper-focus atas produk atau jasa yang sedang mereka bangun. Hal ini membuat mereka melupakan gambaran besar dari solusi yang sedang mereka coba hadirkan di market. “Bahkan membuat mereka reluctant untuk melakukan pivot manakala trend pasar berubah seketika.”

Menurut Bayu, pilihan merekrut mantan pendiri startup yang “pindah kuadran” menjadi seorang profesional memunculkan sejumlah risiko. Misalnya risiko kompatibilitas kultur (cultural fit), di mana perusahaan-perusahaan konvensional memiliki kultur hierarki yang rigid. Oleh karena itu, menciptakan situasi kerja yang terbuka dan fleksibel, serta (sebisa mungkin) membentuk budaya non-hirarki merupakan kunci utama untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh para mantan pendiri.

Terlepas dari hasil survei itu, sejumlah perusahaan masih mengutamakan kompetensi skill calon pekerja, apapun latar belakangnya. Hal ini berlaku di XL Axiata. “Kami menyeleksi kandidat berdasarkan kecocokan skill competency dan kecocokan budaya kerja. Pengembangannya juga berlaku sama bagi semua karyawan yang sudah bergabung di XL Axiata,” ujar Group Head People Services XL Axiata, Mochamad Hira Kurnia.

Hira yang berpengalaman merekrut sejumlah mantan pendiri startup, menyatakan memang ada sejumlah hal yang perlu ditingkatkan dari kelompok tersebut. “Terutama dalam hal kemampuan menganalisis inovasi versus risiko dan kemampuan managing people, dan kecepatan proses beradaptasi dengan lingkungan enterprise yang fokus terhadap balance sheet,” ujarnya. Di sisi lain, kelompok ini juga memiliki potensi yang dapat dimaksimalkan perusahaan perekrut. “Misalnya kemampuan networking mereka serta kemampuan dalam mengelola segmen bisnis dalam skala tertentu.”

Peran Dunia Pendidikan dalam Pembentukan Karakter

Dengan berbagai pandangan tersebut, bagaimana solusi untuk membangun karakter calon wirausahawan yang kuat, namun juga tetap adaptif dengan dunia kerja? Menurut Rudy Handoko, hal itu, salah satunya, ditentukan oleh proses yang mereka lalui saat menempuh pendidikan, terutama di tingkat kuliah.

“Dunia pendidikan dapat menciptakan karakter pebisnis yang kuat. Di kampus, misalnya, kami menekankan proses dalam membentuk pebisnis atau professional sukses. Tidak ada yang instan karena semua hasil butuh ketekunan,” ujar Rudy.

Ia memberi contoh bagaimana para mahasiswa di Universitas Prasetiya Mulya, sejak semester awal telah mendapatkan eksposur terhadap berbagai macam kompetisi, tekanan yang melatih kesabaran dan konsistensi dalam mencapai tujuan. Mereka bertukar peran dalam kelompok, sekali waktu menjadi ketua, sekali waktu menjadi anggota. “Anggota kelompok sengaja ditukar secara rutin, agar sesama mereka bisa bekerja sama dengan baik, meski mereka memiliki latar belakang berbeda.”

Banyaknya kompetisi yang diikuti pun melatih karakter mereka sebagai sosok yang terbiasa menang maupun kalah, dan tak mudah menyerah meski harus merangkak lagi dari bawah. “Hal semacam ini penting untuk pembentukan karakter calon pebisnis, maupun karyawan,” kata Rudy.

Pengenalan terhadap berbagai iklim dunia kerja juga terjadi pada para mahasiswa. Mahasiswa Prasmul, kata Rudy, juga diterjunkan ke dunia nyata, bahkan sejak selepas semester pertama untuk memahami apa yang terjadi di luar sana. “Mereka sengaja dihadapkan pada situasi jatuh-bangun dan berbagai kesulitan, agar mereka bisa memahami kehidupan secara nyata. Sehingga siap jika suatu ketika usaha mereka gagal, dan membuat pilihan dengan beralih masuk ke bursa kerja, misalnya.”

KOMENTAR & SHARE ARTIKEL
JurnalApps
Jurnal Apps adalah website media yang fokus dalam membahas segala hal yang berkaitan dengan aplikasi mobile. Jurnal Apps berisi informasi review, bedah produk, berita terbaru dan video aplikasi untuk mobile.
Hubungi Kami

Menara Anugrah 20th Floor - Jl. Dr. Ide Anak Agung Gde Agung Lot 8.6-8.7. Kawasan Mega Kuningan Jakarta Selatan 12950. Indonesia

+62 21 5785 3978

redaksi@jurnalapps.co.id

Find us on social media
Add Friends
To Top