Tren menjual smartphone tanpa charger mulai diperkenalkan Apple mulai tahun 2020 lalu dengan dalih ingin menjaga lingkungan alias eco-friendly.
Mau tak mau pengguna menurut saja dengan maksud baik perusahaan. Meskipun dalam hati pasti kesal karena absennya aksesoris tersebut bikin mereka merogoh biaya tambahan untuk membeli kepala charger.
Berbeda dengan pengguna lain yang pasrah dengan keputusan perusahaan yang berbasis di Cupertino ini, hakim dari Brasil justru mendenda Apple karena menjual iPhone tanpa charger di negara mereka.
Alhasil, Apple diminta untuk membayar sekitar US$1000 atau Rp14 jutaan kepada pelanggan mereka di Brasil.
Mengutip MacRumors pada hari Jumat, (22/04/2022). Tuntutan ini dilayangkan karena Apple dianggap telah melanggar undang-undang pelanggan di negara tersebut. Langkah Apple ini memicu kontroversi di beberapa negara, termasuk pemerintah Brasil yang ikut turun tangan mengurus hal tersebut.
Sebelumnya, dua tahun lalu Brasil juga sudah mengajukan denda pada Apple sebesar US$2 juta karena melanggar undang-undang konsumen. Bila perselisihan terus berlanjut, Apple kemungkinan akan dipaksa untuk mengirim iPhone di negara ini dengan charger dalam box. Itu menjadi pertanda yang bagus bagi konsumen Apple di Brasil.
Sayangnya, Apple tetap tegas pada keputusannya dan berpendapat bahwa pelanggan mereka sudah mempunyai pengisi daya di rumah.
Apple justru menyatakan manfaat lingkungan berkat menghilangkan pengisi daya dan mengurangi ukuran kotak iPhone. Termasuk mengklaim bahwa langkahnya ini setara dengan menghapus hampir 450 ribu mobil di jalan pertahunnya.
Selain menjaga lingkungan, langkah ini bikin Apple untung hingga US$6,5 miliar atau sekitar Rp93 Triliun. Tidak heran kalau langkah Apple ini ditiru beberapa perusahaan smartphone lainnya. Tren ini juga membuat konsumen jadi semakin boros, karena harus membeli aksesoris tambahan sekitar USD19 atau Rp270 ribuan.
Bila Brasil berhasil memaksa Apple membayar denda tersebut, ada kemungkinan langkah negara tersebut ditiru oleh negara lainnya. Terutama oleh negara-negara dunia ketiga yang belum terlalu memikirkan dampak industri elektronik pada pencemaran lingkungan.